Minggu, 15 Januari 2012

Belitang ku yang indah

“Saya dari Belitang kok...”Kebanyakan orang yang mendengar kata belitang  tergelitik sekaligus merinding, takut dan cuek. Entah kenapa kecamatan tempat tinggalku itu seperti menjadi sebuah stempel terburuk yang aku miliki. Sejak aku berada di Seminari, juga di Novisiat, aku merasa daerah kelahiranku itu menghantui banyak orang. Aku menjadi malu dan sedikit tidak bangga dengan daerahku sendiri. “Ah, Belitang lagi, belitang lagi!”.
“Oh, mas ini dari Belitang ya? Saya dengar-dengar di Belitang itu banyak Grandongnya ya?” tutur seseorang kepada saya. “Oh kalo saya pernah ke Belitang, disana itu jalannya jelek sekali ya?” Seseorang mencibir. “Kalau Belitang itu kan daerahnya Romo Anu dan anu dan inu yang keluar itu to?” Seseorang meyakinkan.
Sejak di Seminari aku mencoba untuk menghilangkan jejakku sebagai warga belitang. Dengan alasan menghibdari cibiran dan ejekan-ejekan teman-temanku serta anggapan miring dari masyarakat yang tahu sedikit tentang Belitang, aku menjauhkan diri dari pertanyaan dari mana asalku. Entah mengapa aku menjadi jengkel dengan daerah asal tempat kelahiranku itu. Terusterang saja aku merasa risih dengan ujaran-ujaran miring seperti itu.
Pernah suatu ketika aku bersama dengan salahseorang temanku berkunjung ke rumah seorang umat. Spontan dia menanyaiku dari mana asalku sembari menyalamiku. “Oh saya dari Kemuning pak” jawabku. “Oh, Frater dari kemuning, Kemunging itu mana sih Frater?” pertanyaannya berkelanjutan. “Kemuning itu Belitang pak” lanjutku. “Ooo, Frater dari Belitang ya? Saya dulu pernah di Belitang selama satu bulan lho...” katanya dengan PeDe. “Oh ya?” aku menaruh perhatian. “selama saya disana saya dua kali mendengar ada kabar perampokan. Dulu saya kira di sana itu seperti di daerah saya ini lho! Aman-aman saja. Tapi kok lain ya Ter? Saya juga mengira kalau belitang itu kota gitu... Tapi jalan rayanya saja jelek minta ampun...” Kesan Bapak ini tidak asing lagi bagiku, tap tetap saja membuat aku tidak enak dengan diriku sendiri. Aku sih tidak melarang orang mengungkapkan kesannya kepadaku. Itu terserah mereka, soalnya aku juga mengalami yang demikian itu, bahkan lebih. “Masa’ sih pak?” tanyaku pura-pura meyakinkan diri. “Iya Ter!!!”
Pada suatu kesempatan kunjungan saya berkunjung ke rumah umat yang juga punya relasi dengan orang belitang dan sering ke sana. Dalam pembicaraan, kami hanya berkutat pada daerahku belitang, dan pada akhirnya aku dapat menangkap maksud dari pembicaraan kami yang pada intinya mau mengungkapkan “Apa Frater mampu menjalani hidup panggilan Frater sampai tua dan mati?” Coz dari belitang kan banyak seminaris, frater, suster dan bahkan Romo yang keluar meninggalkan jalan panggilannya karena kagak kuat.” “Apa aku kuat? Akan saya buktikan!” dulu saat saya masih Seminaris saya pernah kepikiran dan mencita-citakan bahwa saya akan menjadi orang pertama dari belitang yang pergi ke Roma dan sekolah di sana. Tapi cita-cita saya itu nampaknya sudah didahului oleh romo Santo SCJ. Tapi tak apa, saya tetap terpacu untuk menjalani hidup saya untuk mengabdikan diri sebagai orang terpanggil yang setia seumur hidup!!!”
Selama saya masih seminaris saya sudah mengalami beberapa kali perpisahan dengan teman-teman saya yang seangkatan maupun kkak atau adik kelas yang juga dari Belitang. Walaupun selama saya di semnari saya mendapati kelompok seminaris yang dari Belitang yang aling kompak, namun saya itu juga tidak menjamin kesetiaan untuk menjalani hidup panggilan. Ada yang keluar karena alasan bosan, kasus, afeksi dengan lawan jenis atau juga ke Seminari hanya sekedar numpang studi di SMA Xaverius 1 Palembang. Beberapa teman saya dari Belitang yang keluar memang beberapa sudah agak sukses tapi juga ada yang masih nganggur.
Kebanyakan, yang meninggalkan jalan panggilannya karena afeksi dengan lawan jenis, dan inilah yang masih aku olah sampai saat ini. Saya jug menyadari bahwa saya mengalami hal yang sama. Tapi berulangkali saya membicarakan masalah saya ini kepada pembimbing rohani saya dan mencoba untuk mengatasi masalah saya.
Belitang, sekarang menjadi daerah yang semakin maju. Perkebunan karet sekarang semakin merajai daerah persawahan itu. Mungkin itu salah satu jalan terbaik agar harga beras semakin melambung. Namun ya daerah pelosok yang hanya mengandalkan kebun karet terpaksa harus membeli beras. Tak jauh beda dengan Gisting. Hanya segelintir orang yang menanam padi. Dulu, kabupaten ogan Komering Ulu menjadi kabupaten swasembada pangan. Juga menjadi penyuplai beras paling unggul se sematera selatan.
Saya cukup heran, karena jalan raya yang menuju daerah perkebunan menjadi sangat bagus dan mulus dibandingkan dengan jalan raya yang menuju daerah pertanian. Nampaknya perkebunan menjadi semakin berhasil. Aku pernah punya teman sewaktu SMP, yang rela putus sekolah, bukan karena dia keluarga yang tak mampu, justru sebaliknya dia menjadi siswa yang menurutku masuk tiga besar keluarga terkaya se se SMP ku pada waktu itu. Dia keluar karena ingin mengembangkan usaha ayahnya. Mobilnya sudah banyak, Hp-nya selalu ganti dan ke sekolah dialah yang membawa motor paling bagus. Ah, sayang sekali sebenarnya. Tapi, dia punya persepsi bahwa hidup tak hanya bergantung pada gelar sarjana atau doktor. “Percuma saja punya gelar doktor kalau nganggur” katanya saat perpisahan denganku. Aku juga tidak terlalu kasihan dnegannya, karena kapanpun dia dapat melanjutkan sekolahnya tanpa pusing berfikir biaya.
Di Bellitang, jarang sekali saya mendengar ada keluarga yang susah mencari uang harus kemana untuk membiayai anaknya. Yang aku tahu adalah bahwa ada banyak keluarga mampu, namun sengaja melarang anaknya melanjutkan ke jenjang pendidikan yang tinggi karena malas biaya. Jadi bukan karena tidak punya biaya, namun karena mereka pelit untuk pendidikan anak sendiri. Kesadaran pendidikan memang masih sangat minim, untuk daerah Belitang. Di Belitang, kebutuhan keluarga belum terlalu kompleks. Rata-rata, setiap keluarga mempunyai halaman rumah yang luas, tidak berhimpitan satu dengan yang lain. Juga belum pernah kudenganr ada keributan mengenai batas tanah satu keluarga dengan yang lain.
Sebagian besar masyarakat di desaku mempunyai lahan untuk pertanian dan mereka menggarap lahan mereka sendiri, maksud saya per keluarga. Daerah pertanian kami didukung oleh kehadiran BK (Bendungan komering- Bendungan Kannal). Sehingga daerah persawahan yang dilalui bendungan besar itu rata-rata memanen padi dua kali dalam satu tahun, bisa juga tiga namun jarang. Selain menggarap lahan sendiri, bagi mereka yang merasa mempunyai kebutuhan lebih atau menganggur sampai waktu memanen padi di sawah miliknya tiba, biasanya mereka membantu orang lain memanen. Kegiatan ini basanya disebut derep. Walaupun harga beraspada saat panen tiba mulai turun, para petani tak bisa berharap banyak.
Pemandangan hamparan padi yang mulai menguning, diiringi nyanyian burung –burung bisa dinikmati dengan amat dalam. Mengayun angin sepoi menerpa ujung batang padi. Ah, pemandangan itu bisa dinikmati sampai kini. Sesuatu yang tak bisa aku lupakan. Ketika padi sudah mulai menguning, petani yang cerdas akan memanen dua panenan. Panen ikan dan padi, ya! Biasanya para petani akan memanen dua kali dalam satu lahan. Oh, betapa indahnya!!!
Menikmati sarapan dan makan siang di tengah sawah bersama para pekerja sungguh mengasyikkan. Nasi tiwul dengan lauk ikan asin pedas, sayur kacang dengan segumpal sambal di atas piring seng terasa nikmat. Melebihi apapun. Mengalahkan daging ayam di restoran atau warung makan padang.

tentang BELITANG

Sekilas Tentang Kampungku, Belitang

Ditulis dalam Opiniku oleh prayogo pada Maret 7, 2007
Prayogo: Ajeng teng pundi mbah?
Mbah Bejo: Ajeng teng saben le, niki ajeng nanem polowijo.
Prayogo: Monggo mbah, kulo rumiyien.
Pasti anda berpikir bahwa sepenggal percakapan di atas di lakukan di sebuah desa di daerah Jawa Tengah atau daerah Jawa yang lain. Kalau memang itu yang ada di benak anda, ternyata anda salah besar. Percakapan itu dilakukan di sebuah desa di daerah Belitang OKU Sumatera Selatan, kampung kelahiranku. Maka jangan heran kalau anda datang ke Belitang yang merupakan lumbung padi di Sumatera Selatan, banyak sekali di temukan orang-orang Jawa. Mereka adalah orang-orang transmigran. Para transmigrasi tersebut tiba di daerah Belitang melalui program kolonisasi massal yang dilakukan pemerintah Belanda pada tahun 1930-an. Dan kebanyakan orang Jawa yang benar-benar giat bekerja keras menjadi sukses, dan makmur hidupnya. Karena masyarakat Jawa sendiri memiliki filosofi sepi ing pamrih, rame ing gawe, yaitu menekankan pentingnya kerja nyata tanpa banyak mengeluh.
Soal bahasa, banyak bahasa yang di gunakan di daerah ini. Selain bahasa Melayu-Palembang dan bahasa Indonesia, bahasa Jawa menjadi salah satu bahasa percakapan sehari-hari di perkampungan Belitang. Penduduk asli suku Komering atau berbagai suku pendatang dari daerah lain yang menetap di daerah pertanian ini, juga cukup mahir berbahasa Jawa. Selain itu banyak nama-nama penduduk yang mengacu pada peristilahan khas Jawa yang singkat dan berakhiran “O”. Misal kalau nama: prayogo, suswanto, sutikno, sudarsono, painem, paijem, sutrisno dan lain sebagainya. Begitu juga dengan penamaan desa, karena banyak desa di Belitang di buka dan di dirikan oleh orang-orang trans (Jawa) maka nama-namanya-pun menggunakan nama Jawa. Seperti; Tawang Rejo, Bangun Harjo, Sido Mulyo, Donoharjo, Sido Dadi, Banyumas, Tegalrejo, dan seterusnya dan seterusnya.
Sebenarnya kita bisa membedakan mana orang asli (Komering) atau mana penduduk pendatang (transmigrasi). Sebagai contoh, orang asli Komering memakai nama Cik Aman, Tando Kowi, Mardiana, Marniah, Daniel, Galung dan lain-lain. Begitu juga untuk penamaan sebuah desa. Kalau yang mendirikan itu orang asli Komering mereka menggunakan nama; Rasuan, Sukarame, Minca Kabau, Campang Tiga, Way Halom dan lain-lain. Jadi, kalau kita jeli, kita bisa melihat apakah dia asli orang Komering atau orang pendatang. Dengan cara mengenali nama orang dan atau bisa juga dengan nama desanya. Salah satu contoh soal bahasa, kalau saya di rumah (kampung) dalam kehidupan sehari-hari saya menggunakan tiga bahasa. Di dalam rumah/keluarga, saya menggunakan bahasa Jawa, akan tetapi kalau saya keluar dari rumah, saya menggunakan bahasa Komering dan bahasa Palembang. Soal nama, terlihat sekali kalau saya orang ”Palembang Bajakan”, begitu suatu kali teman berucap kepada saya. Atau ada istilah untuk orang-orang Jawa yang lahir di Sumatera, yakni Pujakusuma (Putra Jawa Kelahiran Sumatera). Apalagi nama saya berakhiran ”O”, Prayogo. Walaupun begitu, saya tetap merasa kalau saya orang Sumatera (Belitang).
Sekilas tentang Belitang
Belitang adalah satu dari 16 kecamatan yang ada di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur (setelah dilakukan pemekaran/otonomi daerah). Karena sebelum adanya otonomi daerah dulu hanya ada OKU, tidak ada yang namanya OKU Timur, OKU Selatan, dan sebagainya. Kecamatan Belitang yang beribu kota Gumawang berjarak sekitar 360 kilometer dari ibu kota Sumatera Selatan, Palembang. Sementara Belitang sendiri terdiri dari Belitang I, Belitang II dan Belitang III. Hampir seluruh wilayahnya dipenuhi hamparan padi yang tumbuh subur dan hijau. Mata semakin sejuk memandang dengan aliran air Irigasi Upper Komering yang sehari-sehari menyirami ribuan hektare persawahan. Untuk Belitang sendiri penduduknya mencapai 54.000 KK. Dan dari segi infrastruktur, Belitang sudah memiliki perbankan, pendidikan, pertanian. Bahkan untuk sektor pendidikan di Belitang sudah ada hingga strata S2.
Budaya
Belitang merupakan salah satu basis pelestarian budaya Jawa di Sumatera yang masih kuat hingga sekarang. Berbagai pertunjukan seni tradisional masih terus digelar, seperti reog, jatilan, ketoprak, dan wayang kulit. Soal wayang kulit, dari sekitar 100 dalang Wayang Purwa yang ada di Sumsel, sebanyak 67 dalang tinggal di daerah Belitang. Sementara untuk budaya suku asli sendiri sudah hampir tidak terlalu menonjol. Sejauh yang penulis ketahui, sampai saat ini budaya suku asli yang masih ada hanyalah ”runcak-runcakan” atau lebih populer di kenal dengan sebutan ”lempar selendang”. Namun secara garis besar, budaya di Belitang lebih di dominan oleh budaya orang-orang pendatang (transmigrasi).
Pertanian
Belitang memiliki sawah beririgasi teknis cukup luas, yakni lebih dari 26.000 ha. Tak heran kalau Belitang merupakan daerah persawahan beririgasi teknis terluas di provinsi Sumatera Selatan. Dari hasil pertanian, Belitang sendiri menghasilkan 1,5 juta ton hingga 1,8 juta ton gabah kering giling, dari dua juta ton yang dihasilkan oleh Sumsel setiap tahunnya. Selain persawahan, Belitang juga banyak ladang. Di ladang para petani menamam, rambutan, durian, sayur mayur, singkong, kedelai dan lain sebagainya. Namun secara geografis, sebenarnya tanah di Belitang mayoritas persawahan. Persawahan yang terletak sekitar 40 kilometer timur laut Martapura, ibu kota Ogan Komering Ulu Timur, itu semakin berkembang dan produktif ketika mendapat limpahan irigasi teknis dari Bendung Perjaya. Menariknya, Bendungan Perjaya yang di bangun pada masa pemerintahan Soeharto tersebut sampai sekarang belum juga di resmikan. Dulu pada saat Megawati menjabat sebagai orang nomer satu di negeri ini berencana mau meresmikan, namun karena satu dan lain hal, rencana tersebut batal. Walaupun belum di resmikan, akan tetapi untuk pengoperasionalan Bendungan Perjaya tetap jalan terus.

Masyarakat di Belitang lebih suka menyebut daerah pertanian sesuai dengan areal pembagian air dari Sungai Komering, mulai dari Bangunan Komering (BK) 1, BK 2, BK 3, sampai dengan BK 35. Masing-masing BK merupakan bangunan irigasi sekunder yang dilengkapi pintu-pintu pengatur. Di Belitang setiap desa rata-rata memiliki lebih dari 10 mesin penggiling padi.
Sekedar informasi bahwa duku Palembang yang terkenal dengan manisnya tersebut, yang banyak di jual di jalanan Jakarta sebenarnya bukan dari Palembang (Kota). Akan tetapi duku tersebut berasal dari sebuah desa yang bernama Rasuan, sebuah desa yang tak jauh dari Belitang. Desa tersebut di huni oleh penduduk asli, suku Komering. Begitu juga dengan durian, yang asalnya dari Rasuan. Mungkin supaya enak saja menyebutnya, karena kalau di sebut durian atau duku dari Rasuan, pasti orang tidak akan kenal dan bertanya-tanya, Rasuan, daerah mana itu?. Tetapi kalau di sebut duku atau durian dari Palembang, pasti semua orang kenal. Kalau lagi musim duku dan durian, dikampung saya harganya jauh lebih murah di banding di sini. Untuk durian satu bijinya hanya di hargai sekitar 3.000-5.000 perak, murah bukan. Coba bandingkan dengan di sini, satu biji bisa 10 ribu hingga 25 ribu. Ah….kalau lagi musim duku dan durian seperti ini, jadi ingin pulang kampung.
Perekonomian
Mayoritas pekerjaan penduduk asli Belitang adalah bertani. Namun berbeda dengan nasib para petani di daerah lain di Sumsel yang umumnya pas-pasan, masyarakat petani di Belitang bisa dibilang hidup berkecukupan sandang, pangan, dan papan. Kemakmuran itu tercermin dari rumah-rumah penduduk yang rata-rata sudah bertembok, lantai tegel, atau plester semen. Sebagian rumah juga sudah dilengkapi antena parabola besar. Rasanya sulit ditemukan rumah dari bambu atau kayu yang reyot. Perkampungan Belitang juga ramai karena didukung akses jalan beraspal besar yang mulus, baik jalan menuju Martapura maupun ke Palembang. Di Kecamatan Belitang I, telah berdiri dealer mobil yang menunjukkan daya beli masyarakat sekitar lumayan tinggi.
Penutup
Dengan luasnya daerah pertanian yang ada di Belitang serta di tunjang irigasi yang sangat bagus, Belitang pasti akan menjadi daerah yang makmur. Apalagi pada tanggal 17 Januari kemarin, berkaitan dengan hari jadi OKU Timur, daerah Belitang di jadikan Kota Terpadu Mandiri (KTM) oleh menteri dalam negeri kabinet gotong royongnya SBY. Semoga kemakmuran dan kedamaian yang ada di Belitang akan merata, sehingga warga Belitang tidak perlu berbondong-bondong merantau ke Jakarta, hanya untuk sekedar mengadu nasip atau mencari sesuap nasi, seperti saya.